Kamis, 07 April 2016

Tulus adalah...


Suatu hari saya sangat dibingungkan oleh kondisi abu yang selalu belum jelas mana hitamnya dan mana putihnya. Kondisi dimana kebenaran itu tidak mutlak namun kebenarannya adalah penjabaran dari mutlak itu sendiri.
Entah apa yang menjadi sebab berdirinya kondisi ini. Yang kian hari perlahan bertumbuh meninggi dan selalu diharapkan agar jangan sampailah berkembang biak. Bisa jadi repot urusannya. Yang saya tahu kondisi ini muncul oleh adanya pertanyaan aneh dimana pertanyaan itu bersifat universal dan juga berlaku untuk semua umur pada setiap kalangan masyarakat, bukan hanya masyarakat Bandung ataupun Indonesia, mungkin se-Asia bahkan seluruh dunia. Bisa adi se-dunia akhirat. Wallohu’alam.
Setiap manusia hakikatnya akan selalu saling membutuhkan dan saling dibutuhkan dalam berbagai kondisi tanpa terkecuali. Ini  jujur berdasarkan pengalaman. Tapi setiap invidunya pasti belum terfikir bahwa dalam proses ini ada kekeliruan mendalam yang melumpuhkan logika, proses ini pun masih membungkamkan keadaan yang sebenarnya.
Gerutu hati selalu menggambarkan pertanyaan-pertanyaan yang menuju pada hal itu-itu saja saat masa tersebut.
Apakah saya pernah melakukannya?
Ataukah saya sedang melakukannya?
Ataukan belum pernah melakukannya?
Ataukah ada orang yang berlaku itu kepada saya?
Ataukah orang-orang sama sekali tidak pernah melakukannya?
Ataukah mereka tahu teori tanpa mengaplikasikannya?
Ataukah memang ada pemerannya?
Ataukah saya sedang melakukan hal tidak bermanfaat?
Memangnya penasaran itu salah?
Banyak nanya itu salah?
Bukankah malu bertanya sesat dijalan?
Dan sebaginya.
Banyak sekali gerutu hati hingga seluruh pertanyaan tersingkat hingga sampai pada secuil pertanyaan sederhana:
“tulus itu apa?”
Kau tahu mengapa aku memiliki pertanyaan yang tidak penting itu? Alasannya, karena aku selalu bingung dan selalu ingin tahu jawabannya. Alasannya, aku tidak tahu menahu defenisi dari pertanyaan tersebut. Alasannya, ingin sekali memiliki sifat itu.
Alasannya, aku selalu menganggap bahwa tulus itu tidak ada, yang ada hanyalah keharusan. Untuk alasan ini, ada lagi alasan mengapa dipaparkan seperti itu. Alasannya karena ketika ada orang yang seperti tulus, yang aku anggap itu adalah suatu keharusan, keharusan yang mesti dilakukan tanpa pengecualian dan tanpa alasan.
Contohnya, misal aku adalah seorang pengajar, pengajar di suatu kumpulan pelajar. Setiap hari setiap pagi aku harus mengajar mereka dengan tanpa telat, setiap bulan mendapat gaji yang lumayanlah. Apakah aku benar-benar tulus mengajar? Ataukah suatu keharusan karena aku lulusan sarjana pendidikan? Atau sedang mencari nafkah? Sedang tulus mencari uang? Atau harus mencari uang? Jadi, sedang tuluskah atau sedang melaksanakan keharusankah? Atau harus tulus ketika menjalani keharusan? Atau harus tulus? Bingungkan? Ya sudah pemisalan selesai. Disitulah letak kebingungan dari contoh kecil. Yang selalu diketahui, kita harus punya banyak uang, biar bisa shadaqah, caranya ya kerja. Ah disitu aku masih merasa bingung.
Berdetik-detik bermenit-menit berjam-jam ber-sks-sks bahkan berhari-hari pertanyaan itu menjadi topik utama di seluruh bagian otak baik otak kanan, otak kiri, maupun otak tengah. Efeknya ke otak depan dan ke seluruh tubuh. Rasanya batin akan protes jika hanya dipendam sendiri saja.
Berhubung banyak teman, tidak ada salah sedikitpun untuk berbagi tanya kepada mereka hingga sampai pada jawaban-jawaban yang beragam.
“tulus itu tanpa pamrih”
“tulus itu melakukan hal yang benar-benar dari hati tanpa mengharapkan balasan”
“tulus itu ketika menolong orang lain dengan ikhlas”
“tulus itu apa adanya”
“tulus itu dari hati terdalam”
“tulus itu seorang penyanyi”
“tulus itu....”
Dan hanya satu jawaban yang menggugah hati.
“jawaban nya adalah berhenti mencari jawaban”
“jawaban diterima dan diakui oleh seluruh jiwa raga saya.” Respon saya dengan agak serius.
Rasa bingung untuk hal ini selesai.

Ttd.
Lastri Asmara Kurnia Ningsih (Calon Istri Shalehah)
Di Kost-an tepatnya di atas karpet sambil duduk manis dan makan wafer recheese nabati rasa keju.

Jumat, 18 Maret 2016

Sedang Mikir Sehat


Mungkin ini adalah kali pertama aku menulis lagi. Beberapa lama ke belakang belum berfikir sefikir-fikirnya hanya saja karena kali ini sedang dilanda rasa kangen untuk curhat nan bercerita lewat tulisan yang mungkin akan sulit dimengerti bagi yang tidak faham arti sebuah perasaan sesungguhnya.
Sedang sangat ingin berbicara kepada keluargaku di istana kecil sana. Mungkin mereka selalu tahu dan selalu ingat dengan apa yang selalu diharapkan. Harapan dan cita-cita yang selalu direwelkan ke telinga mereka sampai mereka bosan dan hanya bisa tersenyum kadang tertawa meledek karena harapan yang terlalu tinggi dan terlalu manis, tapi walau begitu mereka adalah manusia yang tak pernah lupa mengucap kata ‘aamiin’ ketika aku mulai rewel.
Dulu aku selalu berfikir hidup di luar rumah orang tua dan jauh dari keluarga kemudian jauh dari orang-orang yang ku kenal dan hidup ditempat yang baru akan sangat menyenangan tidak membosankan dan juga tidak menjengkelkan batin. Namun... banyak situasi yang membuat batin terenggut dan tersadar bahwa ternyata selama ini aku berada dalam fikiran dan iming-iming yang kurang tepat.
Di rumah membosankan, dekat dengan orang tua sangat sulit bergerak sulit main sulit berekspresi dan terlalu banyak aturan yang jika dilanggar akan terkena marah besar, dekat dengan saudara tidak membuat berkembang dan itu-itu saja yang menjadi topik pembahasan ketika berkumpul.
Tempat macam apakah ini jauh dari mana-mana dekatnya hanya ke sawah lagi kebun lagi sawah lagi kebun lagi bertemu para petani lagi dan lagi-lagi para petani yang rajin lewat depan rumah, ah apakah tidak ada yang lebih bisa mencuci mata daripada ini, ya Tuhaaan mengapa tempat ini membosankan sekali.
Tidak ada tempat main yang dekat dengan rumah, kalau main di rumah lagi di rumah lagi di tetangga lagi di tetangga lagi bagai di penjara dengan tempat terbatas keadaan terbatas juga manusia-manusia yang terbatas, ya meskipun tidak tahu bagaimana indahnya dalam penjara.
Gerutu negatif selalu menghiasi kedominanan fikiran batin hati juga setiap lamunan dipojok sudut ruangan rumah.
Di sudut ruangan kecil ini banyak hal yang mengkonstruk keramaian menjadi kesepian. Bukankah sepi merupakan ramai yang tidak didengar? Ya benar sekali, sekitar ruangan ini ramai tapi kenapa masih merasa sepi? Rintik hujan sekalipun terasa hening dikala fikiran dikelilingi sugesti sepi-sepi yang ada.
Kalian tahu ?
Ternyata fikiran ini kurang tepat
Keluarga...
Dari kalianlah saya mendapatkan perlindungan penuh
Kalianlah sumber utama kebahagiaan
Yang ketika aku bersedih kalianlah yang menjadi alasan aku tersenyum
Manusia-manusia yang tidak akan pernah menyakiti, mengecewakan ataupun membuat luka
Apapun yang kalian katakan adalah kebahagiaan sekalipun itu hal yang menyakitkan
Marahnya pun adalah kebahagiaan yang tidak pernah dimengerti oleh siapapun
Yang akan selalu membuka lebar pintu rumah, pintu hati, bahkan pintu hidup kalian yang selalu kalian pertaruhkan
Yang akan selalu merasakan apa yang aku rasakan
Bahagia dikala hati ini bahagia
Membahagiakan dikala batin ini kecewa
Menghibur dikala batin ini penuh kesedihan
Ikut andil dikala dalam kesulitan
Optimis dikala ambisi ini optimis
Meng-optimiskan saat sedang dilanda pesimis
Mendukung apa yang diharapkan
Dan
Banyaaak sekali hal yang selalu menjadi positif dikala sosok ini penuh fikiran dan tindakan negatif
Tidak ada yang bisa menggantikan posisi kalian kapanpun dan dimanapun aku berada. Aku bukanlah apa-apa tanpa kalian tanpa do’a kalian tanpa dukungan kalian.
Tak perlu kalian tahu bahwa...
Disini dibatin ini sering hujan, andai kalian tahu mungkin badai yang lebih besar akan melanda batin kalian juga.
Sekuat tenaga tidak akan membiarkan siapapun menyakiti hati ini, karena jika aku terluka kalian akan lebih terluka. Harus selalu dalam kondisi tenang agar kalian pun ikut tenang. Karena apapun yang oranglain nilai mengenai aku itu sama hal nya dengan menilai kalian, baik penilaian negatif maupun penilaian positif.
Bagaimanapun kondisinya memang inilah pilihan yang dari dulu diharapkan. Bukan karena ingin jauh dari kalian tapi karena aku sedang memperjuangkan sebuah proses yang semoga akan memberi kualitas terbaik bagi hasil perjuanganku di tanah Bandung ini. Demi ilmu dan demi masa depan.
Allah SWT adalah alasan aku berdiri
Keluarga adalah alasan aku berjalan
Cinta dan persahabatan adalah alasan aku berlari
Dan aku adalah alasan dari segala yang aku lakukan
Semoga kelak aku bisa menciptakan keluarga besar yang sesempurna keluarga besar ini
Sungguh...
Kangen sekali kalian manusia-manusia yang selalu menyayangi dan mencintai Lastri tanpa lelah. Love you more...

Ttd.
Lastri Asmara Kurnia Ningsih (Calon Istri Shalehah)
Di Kost-an