Suatu
hari saya sangat dibingungkan oleh kondisi abu yang selalu belum jelas mana
hitamnya dan mana putihnya. Kondisi dimana kebenaran itu tidak mutlak namun
kebenarannya adalah penjabaran dari mutlak itu sendiri.
Entah
apa yang menjadi sebab berdirinya kondisi ini. Yang kian hari perlahan
bertumbuh meninggi dan selalu diharapkan agar jangan sampailah berkembang biak.
Bisa jadi repot urusannya. Yang saya tahu kondisi ini muncul oleh adanya
pertanyaan aneh dimana pertanyaan itu bersifat universal dan juga berlaku untuk
semua umur pada setiap kalangan masyarakat, bukan hanya masyarakat Bandung
ataupun Indonesia, mungkin se-Asia bahkan seluruh dunia. Bisa adi se-dunia
akhirat. Wallohu’alam.
Setiap
manusia hakikatnya akan selalu saling membutuhkan dan saling dibutuhkan dalam
berbagai kondisi tanpa terkecuali. Ini
jujur berdasarkan pengalaman. Tapi setiap invidunya pasti belum terfikir
bahwa dalam proses ini ada kekeliruan mendalam yang melumpuhkan logika, proses
ini pun masih membungkamkan keadaan yang sebenarnya.
Gerutu
hati selalu menggambarkan pertanyaan-pertanyaan yang menuju pada hal itu-itu
saja saat masa tersebut.
Apakah
saya pernah melakukannya?
Ataukah
saya sedang melakukannya?
Ataukan
belum pernah melakukannya?
Ataukah
ada orang yang berlaku itu kepada saya?
Ataukah
orang-orang sama sekali tidak pernah melakukannya?
Ataukah
mereka tahu teori tanpa mengaplikasikannya?
Ataukah
memang ada pemerannya?
Ataukah
saya sedang melakukan hal tidak bermanfaat?
Memangnya
penasaran itu salah?
Banyak
nanya itu salah?
Bukankah
malu bertanya sesat dijalan?
Dan
sebaginya.
Banyak
sekali gerutu hati hingga seluruh pertanyaan tersingkat hingga sampai pada
secuil pertanyaan sederhana:
“tulus itu apa?”
Kau
tahu mengapa aku memiliki pertanyaan yang tidak penting itu? Alasannya, karena
aku selalu bingung dan selalu ingin tahu jawabannya. Alasannya, aku tidak tahu
menahu defenisi dari pertanyaan tersebut. Alasannya, ingin sekali memiliki
sifat itu.
Alasannya,
aku selalu menganggap bahwa tulus itu tidak ada, yang ada hanyalah keharusan. Untuk
alasan ini, ada lagi alasan mengapa dipaparkan seperti itu. Alasannya karena
ketika ada orang yang seperti tulus, yang aku anggap itu adalah suatu
keharusan, keharusan yang mesti dilakukan tanpa pengecualian dan tanpa alasan.
Contohnya,
misal aku adalah seorang pengajar, pengajar di suatu kumpulan pelajar. Setiap hari
setiap pagi aku harus mengajar mereka dengan tanpa telat, setiap bulan mendapat
gaji yang lumayanlah. Apakah aku benar-benar tulus mengajar? Ataukah suatu
keharusan karena aku lulusan sarjana pendidikan? Atau sedang mencari nafkah? Sedang
tulus mencari uang? Atau harus mencari uang? Jadi, sedang tuluskah atau sedang
melaksanakan keharusankah? Atau harus tulus ketika menjalani keharusan? Atau harus
tulus? Bingungkan? Ya sudah pemisalan selesai. Disitulah letak kebingungan dari
contoh kecil. Yang selalu diketahui, kita harus punya banyak uang, biar bisa
shadaqah, caranya ya kerja. Ah disitu aku masih merasa bingung.
Berdetik-detik
bermenit-menit berjam-jam ber-sks-sks bahkan berhari-hari pertanyaan itu
menjadi topik utama di seluruh bagian otak baik otak kanan, otak kiri, maupun
otak tengah. Efeknya ke otak depan dan ke seluruh tubuh. Rasanya batin akan
protes jika hanya dipendam sendiri saja.
Berhubung
banyak teman, tidak ada salah sedikitpun untuk berbagi tanya kepada mereka
hingga sampai pada jawaban-jawaban yang beragam.
“tulus
itu tanpa pamrih”
“tulus
itu melakukan hal yang benar-benar dari hati tanpa mengharapkan balasan”
“tulus
itu ketika menolong orang lain dengan ikhlas”
“tulus
itu apa adanya”
“tulus
itu dari hati terdalam”
“tulus
itu seorang penyanyi”
“tulus
itu....”
Dan
hanya satu jawaban yang menggugah hati.
“jawaban
nya adalah berhenti mencari jawaban”
“jawaban
diterima dan diakui oleh seluruh jiwa raga saya.” Respon saya dengan agak
serius.
Rasa
bingung untuk hal ini selesai.
Ttd.
Lastri
Asmara Kurnia Ningsih (Calon Istri Shalehah)
Di
Kost-an tepatnya di atas karpet sambil duduk manis dan makan wafer recheese
nabati rasa keju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar